konon adalah seorang pedagang dari Siantar Matio bernama Parboniaga Sipunjung. ia sering berdagang ke berbagai tempat di Uluan dan sesekali pergi ke Simalungun.
Parboniaga sudah berkeluarga. ia memiliki tiga anak. Anak ketiga bernama Aji Urung adalah anak yang paling ia sayangi. selain itu, ia juga memiliki seorang anak asuh, anak perempuan bernama Si Sanggaranian. Dinamai demikian karena wajahnya yang sangat cantik dan kuning seperti sanggar (pimping). Karena Sanggaranian bukanlah anak kandungnya, maka Parboniaga selalu meminta Sanggaranian untuk memanggilnya dengan sebutan amang ito.
suatu hari Sanggaranian asik bernyanyi dan menari di halaman rumah bersama dengan para gadis desa lain menggoda para pemuda di kampungnya. Tiba – tiba seorang pemuda datang dari belakang dan langsung menggendongnya dan memisahkannya dari teman-temannya.
Sanggaranian yang tidak senang dengan cara pemuda itu kemudian marah. Walau sang pemuda sudah meminta maaf dengan alasan “Saya hanya sangat gemas melihat ito, sehingga saya tidak sengaja melakukannnya”. Tapi tetap saja Sanggaranian tidak terima. Parboniaga yang menyaksikan dari kejauhan sengaja tidak ikut campur. Ia ingin tahu bagaimana Sanggaranian akan menyelesaikan masalahnya.
Sebagai permintaaan maaf, Sanggaranian meminta pemuda itu memberi makan (mangindahani) warga sekampung. Terang saja pemuda itu keberatan, karena dia tidak sanggup melakukannya. Tapi si sanggaranian tetap bersikeras. Akhirnya Parboniaga turun menengahi.
“Tidak baik menghukumnya seperti itu. Cukuplah kita menasehatinya saja.” ucap si Parboniaga.
Malam harinya Sanggaranian bermimpi. Dalam mimpinya, pemuda yang mengganggunya itu masuk ke dalam rumahnya ketika Parboniaga sedang pergi berdagang. Ia menculik Sanggaranian dan membawanya kabur dari kampung.
Pagi harinya Sanggaranian menceritakan hal ini kepada Parboniaga.
“amang ito, saya takut kalau mimpi saya nanti jadi kenyataan. Tolong jangan tinggalkan saya. Bagaimana kalau pemuda itu benar-benar menculik saya ketika amang ito sedang pergi berdagang? Bawalah saya bersama amang ito berdagang. “
Akhirnya sejak saat itu, Sanggaranian selalu ikut jika Parboniaga pergi berdagang. Dan setiap mereka berdagang, dagangan mereka selalu laris keras. Banyak orang tertarik dengan kecantikan Sanggaranian. Orang-orang selalu berkumpul di tempat dagangan mereka walau hanya untuk dapat melihat Sanggaranian.
Suatu hari Parboniaga berencana pergi berdagang ke Simalungun. Ia bersama dengan para pembantunya mempersiapkan segala keperluan. Mereka membawa dua ekor kuda dalam perjalanan. Satu untuk Parboniaga dan satu lagi untuk Sanggaranian.
Rombongan Parboniaga berjalan menusuri kaki gunung Simanuk-manuk. Dan malam harinya mereka beristirahat di kaki gunung simanuk-manuk. Malam itu Parboniaga dan Sanggaranian lupa dan khilaf akan status mereka yang mar-ito. Dosa pun tak dapat terelakkan dan mereka melakukan hubungan layaknya suami istri yang sebenarnya tidak pantas mereka lakukan.
Selang beberapa hari kemudian, mereka sampai ke Ajibata. Disini dagangan mereka laku keras. Belum setengah hari, setengah modal sudah kembali. Hari berikutnya mereka sampai ke Silampiang. Disini mereka mendapat pondok dari warga setempat yang baik hati. Disini mereka tinggal untuk waktu yang cukup lama. Jika ada yang bertanya, Parboniaga akan mengatakan kalau Sanggaranian itu itonya. bukan istrinya.
Di Silampiang, dagangan Parboniaga laku keras karena setiap orang yang melintas selalu tertarik dengan kecantikan Sanggaranian yang selalu ia bawa. Mereka selalu singgah dan membeli satu dua barang hanya untuk bisa bercengkrama dengan Sanggaranian. Parboniaga sendiri yang sudah semakin sukses tidak sulit untuk mendapatkan gadis desa tersebut. Ia akhirnya menikahi boru Saragih, anak seorang Raja dari daerah setempat.
Sekarang Parboniaga sudah sukses. Ia tidak lagi mau berdagang. Dagangannya diserahkan kepada para pembantunya, sementara dia lebih suka bermain judi yang memang salah satu ciri anak raja pada saat itu.
Satu per satu orang kaya di Silampiang dikalahkannya. Semua lawannya dapat dikalahkan dengan mudah. Mereka tidak bisa konsentrasi bermain karena mata mereka selalu terpaku pada Sanggaranian dan Boru Saragih yang selalu mendampingi Parboniaga.
Setelah tidak ada lagi lawan di Silampiang, Parboniaga kemudian pergi ke daerah Pamatang. Disana dia disambut Raja Sitanggang, yang menjadi Raja di daerah tersebut. Parboniaga menantang Raja tersebut untuk bermain judi dengannya. Setelah bermain semalam suntuk, dia berhasil mengalahkan Raja tersebut. Karena masih penasaran, Raja tersebut mengajak Parboniaga untuk kembali bermain. Taruhannya, Jika Raja itu menang, maka Sanggaranian dan Boru Saragih menjadi miliknya. Sebagai gantinya, kalau Parboniaga menang, Harta, sawah dan Rumah serta jabatannya sebagai Raja akan jadi milik Parboniaga.
Raja tersebut akhirnya kalah dan bangkrut. Parboniaga akhirnya berhak atas gelar Raja di daerah tersebut. Namun karena dia sudah cukup tua, maka ia memanggil anaknya Aji Urung dari Siantar Matio untuk menjadi Raja di daerah tersebut. Karena Aji Urung berasal dari Siantar Matio maka nama daerah Pematang diganti menjadi Pematang Siantar.
Hari-hari berikutnya Sanggaranian sering merenungi nasibnya yang buruk. Tidak ada satupun pemuda yang datang melamarnya. Sementara dia harus menanggung dosa dari perbuatannya dengan amang itonya. Di depan umum, Sanggaranian dan Parboniaga selalu bersikap seperti bersaudara (mariboto) namun dibelakang, Sanggaranian diperlakukan layaknya istri oleh Parboniaga.
Setelah Parboniaga meninggal, Sanggaranian sering menghabiskan waktu dengan berendam di sebuah kolam, di dekat tempat ia tinggal. Suatu hari ketika ia sedang berendam disana, sebuah anak panah jatuh dari ranting pohon hariara dan melukai wajah Sanggaranian.
Semakin lama luka di wajah sanggaranian semakin membesar dan membengkak. Wajah sanggaranian semakin hancur karena luka tersebut. Selain itu, kulit tubuhnya pun terkelupas setiap hari. kakinya melepuh dan semakin hari semakin menyatu.
Bermacam obat dan berbagai dukun telah didatangkan dari penjuru Pematang Siantar untuk mengobatinya namun tak satupun yang berhasil. Orang-orang kerajaan yang melihat hal itu merasa sedih dan iba terhadap Sanggaranian. Akhirnya ditengah keputus-asaan, Sanggaranian meminta amang itonya untuk membawanya ke pemandian tempat ia biasa menyendiri.
Keluarganya kemudian membawanya kesana. Ia lalu asik berenang-renang di pemandian itu. Setelah asik berenang seharian, amang itonya mengajaknya pulang. Namun dia menolak.
“Biarlah saya tetap disini. Saya merasa nyaman tinggal disini. Saya mau tinggal disini.”
Akhirnya warga berangsur-angsur meninggalkan Sanggaranian disana. Dan pemandian itu menjadi tempat tinggal Sanggaranian seterusnya. Suatu hari ketika seorang pemuda sedang mandi di pemandian tersebut, Sanggaranian memanggilnya. Ia meminta pemuda itu mengumpulkan keluarga dan warga sekampung di pemandian itu. Tak lama berselang seluruh keluarga dan warga setempat telah berkerumun di pemandian itu. Mereka merasa sedih dan terkejut melihat kondisi Sanggaranian yang sekarang. Seluruh tubuhnya, dari badan sampai kaki telah berubah menjadi seekor ular kecuali bagian kepala.Sekarang ia lebih mirip dengan seekor ular berkepala manusia. Sanggaranian lalu berkata;
“Amang Naposo lahi manurung, Eda boru Saragih, semua yang ada disini. Sudah tiba waktunya saya pergi. Dosaku dan dosa Dosa Parboniaga adalah dosa yang tidak dapat dihapus. Semua ini akan menjadi cerita dan hukuman di masa yang akan datang. Maka dari sekarang tak akan ada lagi perempuan cantik yang lahir dari leluhur kita. Inilah kutuknya. Selamat tinggal.”
Detik berikutnya, Kepala Sanggaranian berubah menjadi ular. Ia telah menjadi ular sepenuhnya. Lalu tubuhnya tenggelam ke dasar kolam dan menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar